Selasa, 02 Juli 2019

NOGOSOSRO SABUK INTEN 8




Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menguji kekuatan daya tahan lawannya. Ketika pada suatu saat pertahanan dada Watu Gunung terbuka, cepat-cepat Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Seperti seekor burung menyambar belalang, ia pergunakan sisi telapak tangannya untuk menghantam dada lawannya. Serangan itu begitu mendadak dan cepat sehingga lawannya tak sempat menghindarinya. Merasa kena hantaman di dadanya, cepat-cepat Watu Gunung mundur selangkah. Mulutnya meringis sebentar menahan sakit. Tetapi oleh daya tahan badannya, segera rasa sakit itu hilang.
Mengalami hal ini, Watu Gunung malahan sekali lagi meloncat mundur, dan aneh sekali, ia tidak bersiap-siap untuk menyerang atau bertahan, malahan ia berdiri di atas kedua kakinya yang direnggangkan dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Melihat sikap yang demikian, Mahesa Jenar pun menjadi tertegun heran. Tetapi menghadapi sikap ini ia tidak berani gegabah, sebab siapa tahu bahwa sikap ini adalah suatu sikap untuk mengelabuinya dan memancingnya dalam suatu keadaan yang tak menguntungkan.  Ia menjadi semakin heran ketika tiba-tiba Watu Gunung tertawa keras dengan suaranya yang nyaring. Begitu kerasnya ia tertawa sampai menimbulkan getaran-getaran di dada orang yang mendengarnya.
 Sebaliknya para penonton yang melihat Watu Gunung bersikap demikian, seketika tubuhnya menjadi gemetar. Sebab dengan demikian Watu Gunung sudah menemukan suatu kepastian bahwa dalam waktu singkat ia pasti akan dapat menghancurkan lawannya. Dan, biasanya dipegangnya kedua kaki lawannya itu, diputar di udara, dan dengan sekali tetak dihantamkan pada pohon sawo di tepi arena itu sehingga kepalanya menjadi pecah berserakan.
Melihat hal itu, Ki Asem Gede ikut menjadi cemas. Ia melihat nyata-nyata bahwa pukulan Mahesa Jenar tepat mengenai dada, tetapi pukulan itu tak mengakibatkan apa-apa. Tetapi melihat ketenangan Mahesa Jenar, Ki Asem Gedepun menjadi agak tenang pula. Satu kesalahan dari Watu Gunung dan para penonton pertarungan itu adalah bahwa mereka tidak menyadari kalau pukulan Mahesa Jenar itu hanya mempergunakan sebagian kecil dari seluruh kekuatannya. Dengan melihat akibat dari pukulan percobaan itu, Mahesa Jenar dapat mengukur bahwa kalau ia mempergunakan tigaperempat saja dari kekuatannya, dada Watu Gunung itu sudah pasti akan rontok.
Ketika suara tertawa dari Watu Gunung makin menurun, para penonton pun menjadi semakin gelisah. Sebab, demikian suara itu berhenti, demikian Watu Gunung akan menyerang dengan dahsyatnya tanpa menghiraukan hantaman lawan. Dan biasanya pada waktu yang singkat ia telah berhasil meringkus kaki lawan itu dan membenturkan kepalanya di pohon sawo.
Berbeda dengan semua pikiran-pikiran itu, tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat kesan yang aneh dari suara tertawa itu. Ia jadi terkenang pada suatu peristiwa yang sangat memalukan dan hampir-hampir menjatuhkan namanya. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu yang lalu ketika ia masih menjabat sebagai perwira pasukan pengawal raja.
Pada saat Demak sedang membentuk dirinya dan memperkokoh kedudukannya, di mana dibutuhkan kekuatan yang sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan berdirilah suatu himpunan dari beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam yang ingin mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri serta golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh seorang yang sakti dan berkekuatan luar biasa, yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Sehingga gerombolan itu pun kemudian lazim disebut gerombolan Lawa Ijo. Pada masa jayanya, Lawa Ijo mempunyai daerah pengaruh yang luas di daerah selatan sepanjang pantai sampai ke daerah Bagelen dan Banyumas. Menurut kabar, gerombolan ini bersarang di hutan Mentaok.
Demikian merasa dirinya begitu kuat, sampai Lawa Ijo sendiri beserta beberapa orang kepercayaannya berani melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak. Meskipun pasukan keamanan sudah dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa dijumpai, kecuali hanya bekas-bekas perbuatannya yang kadang-kadang tak mengenal perikemanusiaan, dan tanda-tanda pengenal yang sengaja ditinggalkan, yaitu secarik kain yang bergambar seekor kelelawar berwarna hijau dan berkepala serigala diikatkan pada sebilah pisau, yang agak panjang.
Bahkan kekurangajarannya memuncak lagi dengan usahanya memasuki kamar perbendaharaan istana, dimana disimpan harta kekayaan istana beserta benda-benda untuk upacara yang terbuat dari emas, berlian dan permata-permata lainnya. Adalah suatu aib yang tercoret di muka para pengawal istana, kalau pada saat itu tak seorang pun yang mengetahui bahwa lima orang gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin oleh Lawa Ijo sendiri sampai dapat memasuki halaman istana bagian dalam.
Untunglah bahwa pada saat-saat dimana gerombolan Lawa Ijo sedang mengganas, pasukan pengawal istana telah mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menghadapi segala kemungkinan. Sehingga tiap malam tidak hanya para prajurit yang bertugas ronda keliling, tetapi juga para perwira. Malam itu adalah malam dimana Mahesa Jenar sedang mendapat giliran bertanggungjawab pada keselamatan raja serta istana seisinya. Dan justru pada malam itu pulalah gerombolan Lawa Ijo bertindak.
Pada malam itu kira-kira hampir tengah malam, Mahesa Jenar di ruang penjagaannya merasakan angin aneh bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sampai para perajurit merasa kantuk dengan tiba-tiba dan bahkan menjadi tak kuat lagi menahan matanya. Mahesa Jenar sendiri merasa bahwa ia pun tak luput dari serangan itu. Tetapi ia adalah seorang perajurit yang berpengalaman. Begitu ia merasakan suatu ketidakwajaran, hatinya menjadi curiga. Meskipun demikian ia tidak segera bertindak. Mula-mula ia pusatkan kekuatan batinnya untuk melawan akibat angin yang aneh itu, sehingga lambat laun ia berhasil mengatasinya. Kemudian ia sendiri pun berpura-pura merebahkan diri di samping seorang perwira bawahannya yang sudah hampir tak kuat lagi menahan kantuknya. Tetapi begitu Mahesa Jenar berbaring, lalu berbisiklah ia perlahan-lahan sekali kepada perwira bawahannya itu. “Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya dirimu telah terkena sirep. Sadarlah dan cobalah melawan.”
Mendengar bisikan Mahesa Jenar ini, Gadjah Alit menjadi seperti tersadar dari kantuknya. Cepat-cepat ia pun memusatkan seluruh kekuatan batinnya dan dengan sekuat tenaga ia melawannya. Akhirnya ia pun sedikit demi sedikit berhasil menguasai dirinya kembali. Ketika Mahesa Jenar melihat bahwa Gadjah Alit telah dapat menguasai dirinya, kembali ia berkata, “Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam istana ini. Aku kira sebagian besar penjaga sudah terlibat dalam cengkeraman sirep itu. Tetapi baiklah kita tidak usah ribut. Marilah kita berdua berusaha untuk menguasai keadaan.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan kakang Rangga Tohjaya?” tanya Gadjah Alit.
“Dengan berpura-pura tidur, mereka tentu tidak mengira kalau kita tengah mengadakan penyelidikan. Marilah kita berpencar. Lewat pintu belakang dari ruangan ini. Kau pergi ke utara dan aku ke selatan. Kalau salah satu diantara kita melihat hal yang mencurigakan dan kiranya kita masing-masing seorang diri tak mampu mengatasi, sebaiknya kita memberi tanda dengan sebuah suitan.”
“Baiklah kakang Rangga,” jawab Gadjah Alit.
Dan setelah beberapa saat tak terjadi apa-apa, perlahan-lahan dan berhati-hati sekali mereka berdua menyelinap pintu belakang ruang jaga dengan tidak membangunkan seorang pun, agar orang yang bermaksud jahat itu sama sekali tak menduga bahwa diantara sekian banyak penjaga itu ada yang terluput dari sirepnya.
Dengan berlindung pada bayang-bayang dan batang-batang tanaman mereka berdua menyelidiki keadaan taman itu dengan seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya ke selatan. Beberapa lama mereka tak menemukan tanda apa-apa. Malahan halaman dalam istana itu rasanya jauh lebih sepi dari biasanya. Tapi Mahesa Jenar dan Gadjah Alit adalah orang-orang yang penuh dengan pengalaman dan mempunyai ketajaman batin yang luar biasa. Mahesa Jenar yang meskipun pada waktu itu belum melihat adanya sesuatu yang mencurigakan, tetapi ia sudah mendapat firasat bahwa ia telah berdekatan dengan apa yang dicarinya. Itulah sebabnya ia segera diam menenangkan diri di belakang sebuah tanaman yang agak rimbun. Dipusatkannya segala perhatiannya ke suasana di sekelilingnya. Angin aneh yang ternyata adalah mengalirnya kekuatan sirep dari seseorang yang cukup kuat ilmu kebatinannya, masih saja bertiup. Bahkan daya sirep itu demikian kuatnya sehingga baik Mahesa Jenar maupun Gadjah Alit harus tetap menyediakan sebagian perhatianya untuk tetap melawan pengaruhnya. Dengan mengukur kekuatan angin aneh itu, Mahesa Jenar sedikit banyak dapat menjajaki sampai dimana kehebatan orang yang memasangnya. Dengan demikian Mahesa Jenar harus betul-betul waspada, sebab ia tahu betul bahwa orang yang memasang sirep itu tentulah seorang yang mempunyai kesaktian tinggi. Dari tempat persembunyiannya Mahesa Jenar dapat melihat bahwa tiga orang yang bertugas jaga di sudut dinding halaman itu telah tertidur semuanya.
Tombaknya disandarkan pada dinding halaman, dan mereka bertiga begitu saja menggeletak tidur di atas rumput.
Maka setelah agak lama Mahesa Jenar menanti, datanglah saat yang menyebabkan denyut jantung Mahesa Jenar bertambah cepat. Karena pendengarannya yang sangat tajam itulah maka ia mendengar suara berdesir di atas atap balai perbendaharaan istana. Ketika dengan matanya yang setajam telinganya itu pula ia mengamat-amati arah suara itu, darahnya jadi tersirap. Dilihatnya samar-samar bayangan yang berkerudung hampir seluruh tubuhnya berjalan mengendap-ngendap. Tiba-tiba bayangan itu berhenti hanya beberapa depa saja di atasnya. Mahesa Jenar segera mengatur jalan nafasnya supaya tidak didengar oleh bayangan itu. Dan memang rupa-rupanya bayangan itu sama sekali tidak mengerti kalau di bawahnya bersembunyi seseorang.
Bayangan itu kemudian berdiri dan terdengarlah suatu suitan nyaring. Setelah itu ia berdiri tegak sambil memandang ke arah sudut pagar halaman. Tiba-tiba muncullah berturut-turut, hampir seperti seekor berati yang terbang dan hinggap di atas dinding pagar yang tingginya satu setengah kali tinggi orang. Dan kemudian terdengarlah tawa itu. Bayangan di atas balai perbendaharaan itu memperdengarkan suara tertawa yang walaupun tidak keras tetapi memancarkan suatu pengaruh yang luar biasa, sehingga seseorang yang mendengarnya hatinya menjadi begitu pedih seperti mendengar rintihan hantu kubur. Bukan itu saja. Keempat bayangan yang muncul kemudian itu memperdengarkan suara tertawa yang sama, sehingga terpaksa Mahesa Jenar harus segera dengan kekuatan batinnya menutupi lubang-lubang pendengaran hatinya untuk tidak menerima pengaruh jahat dari suara itu. Kemudian keempat orang itu meloncat dengan gaya seperti seekor burung, turun ke halaman. Seperti terapung di udara, mereka berlari ke arah bayangan di atas atap itu. Sementara itu dari arah lain Mahesa Jenar melihat bayangan seorang yang pendek bulat berlari seperti batu berguling-guling masuk jurang begitu cepatnya ke arah empat bayangan itu. Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, bayangan itu sudah langsung menyerang. Hati Mahesa Jenar berdebar bertambah cepat. Bayangan yang gemuk pendek dan menggelinding cepat sekali tadi sudah pasti adalah Gajah Alit. Rupanya ketika Gajah Alit mendengar suitan bayangan di atas atap itu, ia mengira kalau Mahesa Jenarlah yang memberi tanda kepadanya untuk membantunya. Maka ketika ia dengan hati-hati sekali pergi ke arah suara itu, ia mendengar suara tertawa bersahut-sahutan. Dan ia melihat keempat bayangan itu seperti terbang mengarah ke balai perbendaharaan. Maka dengan tidak banyak pertimbangan lagi ia langsung menyerang keempat bayangan itu.
Keempat bayangan itu rupa-rupanya sama sekali tidak menduga kalau ia akan mendapat serangan demikian hebatnya. Sehingga dalam beberapa saat rupa-rupanya Gajah Alit telah berhasil melukai satu di antaranya. Tetapi ketiga yang lain menjadi sangat marah dan segeralah terjadi pertempuran yang hebat sekali.
Sementara itu Mahesa Jenar belum memperlihatkan diri. Kecuali keadaan masih belum memerlukan, rupanya Gajah Alit tidak begitu banyak mengalami kesulitan. Meskipun ia harus bekerja mati-matian melawan tiga orang yang mempunyai tenaga tempur yang cukup, ia sendiri memandang perlu untuk tetap mengawasi gerak-gerik bayangan di atas atap balai perbendaharaan itu. Dan apa yang diduganya ternyata benar. Bayangan di atas atap itu ternyata adalah pemimpinnya, yaitu Lawa Ijo sendiri. Melihat keempat orangnya itu tak segera dapat mengatasi lawannya, Lawa Ijo tampaknya tidak sabar lagi. Tiba-tiba ia mengeluarkan suatu suitan nyaring dan seperti seekor elang menyambar ia terjun dari atap. Kedua tangannya dikembangkan dan tampaklah jari-jari tangannya yang kokoh kuat itu siap menerkam Gajah Alit. Mahesa Jenar yang memang sudah siap, tidak membiarkan Gajah Alit dilukai, segera ia pun meloncat dari persembunyiannya. Geraknya tampak kuat, tangkas dan teguh seperti seekor banteng yang terluka menyerang lawannya. Mendengar suitan dari atas atap itu, Gajah Alit segera sadar bahwa suitan itu seperti yang didengarnya tadi, ternyata bukanlah suara Mahesa Jenar. Maka segera ia melontarkan diri jauh ke belakang sampai empat lima depa, dan segera bersiap menghadapi kemungkinan dari musuhnya yang baru itu. Melihat gerak yang demikian cepatnya ketiga musuhnya jadi terkejut, demikian juga Lawa Ijo yang terpaksa membuat satu gerakan di udara untuk mengubah arah terjunnya. Tetapi kembali di luar dugaannya bahwa dari arah lain datanglah dengan garangnya suatu serangan yang dahsyat. Kembali Lawa Ijo mengubah gaya tubuhnya. Tetapi, meskipun demikian ia tak mempunyai kekuatan lagi untuk menyerang ke arah yang berlawanan, sehingga segera ia melipat tangan kanannya untuk melindungi dada, sedangkan tangan kirinya disiapkan untuk menyerang. Mak, pada saat kaki Lawa Ijo baru saja menyentuh tanah, datanglah serangan Mahesa Jenar dengan dahsyatnya, sehingga terjadilah suatu benturan yang sangat hebat dari dua tenaga raksasa. Tetapi rupanya Mahesa Jenar menang perhitungan, sehingga Lawa Ijo terdorong ke belakang dan kehilangan keseimbangan. Ia berguling dua kali ke belakang dan barulah ia dapat tegak kembali. Tetapi, sementara dadanya terasa nyeri sekali, nafasnya agak sesak. Pukulan Mahesa Jenar yang dilontarkan sepenuh tenaga itu rupanya telah melukai bagian dalam tubuh Lawa Ijo. Meskipun demikian, pada saat benturan itu terjadi, tangan kiri Lawa Ijo ternyata telah dapat mengenai pundak Mahesa Jenar, sehingga tangan kanan Mahesa Jenar pun menjadi sakit dan geraknya menjadi terbatas.
Gajah Alit yang melihat munculnya Mahesa Jenar dengan tiba-tiba itu menjadi girang, dan geraknya bertambah mantap. Sambil menyerang kembali ia sempat berkata, “Ee.., kakang Rangga, rupa-rupanya kau mau mengajak main sembunyi-sembunyian.”
Tetapi Mahesa Jenar diam saja, sebab ia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh.
Maka, segera terjadi dua kancah pertarungan yang dahsyat. Mahesa Jenar melawan Lawa Ijo, dan Gajah Alit melawan tiga orang pengikut Lawa Ijo. Mungkin karena Lawa Ijo telah berhasil dilukainya lebih dahulu, maka pertempuran antara Mahesa Jenar dan Lawa ijo segera tampak berat sebelah. Sekali dua kali memang ia bisa mengenai tubuh Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa Jenar telah mengenainya dua kali lipat. Karena tangan kanannya terluka, Mahesa Jenar memusatkan serangannya pada kecepatan gerak kakinya. Dan ternyata ini berbahaya sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo dengan dahsyatnya menyerang arah tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah jarinya yang dirapatkan. Cepat-cepat Mahesa Jenar menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit ke samping. Tetapi secepat kilat Lawa Ijo mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke arah ulu hati Mahesa Jenar. Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga hanya dengan gerakan yang kecepatannya tak dapat dilihat, Mahesa Jenar berhasil menangkis serangan itu dan dengan tangannya mendorong kaki itu ke dalam. Dorongan itu begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar setengah lingkaran. Maka kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum lagi kaki Lawa Ijo itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan suatu tendangan dan dengan tumitnya ia mengenai lambung lawannya. Kembali Lawa Ijo terlompat beberapa langkah. Dan karena dada Lawa Ijo memang sudah terluka, maka pukulan ini rasanya jauh lebih hebat dari serangan yang pertama, sehingga Lawa Ijo terlompat ke belakang. Mahesa Jenar yang akan memburunya, terpaksa segera menghentikan geraknya. Seleret sinar putih terbang menyambar dadanya. Secepat kilat ia miringkan tubuhnya, dan sinar putih itu lari hanya berjarak setebal daun dari dadanya, mengenai dinding balai perbendaharaan dan langsung menancap di sana hampir sampai ke tangkainya. Ternyata benda itu adalah sebilah pisau yang pada tangkainya diikatkan secarik kain yang bergambar seekor kelelawar hijau dengan kepala serigala. Melihat pisau itu tertancap begitu dalam, hati Mahesa Jenar tersirap juga. Kalau saja pisau itu menancap di dadanya, entahlah apa jadinya.
Sementara itu terjadilah suatu hal di luar dugaan. Setelah melemparkan pisaunya, segera Lawa Ijo meloncat ke belakang dan secepat kilat ia melarikan diri. Mahesa Jenar tentu saja tak membiarkan Lawa Ijo lari, sehingga ia segera mengejarnya. Tetapi di luar dugaannya pula, kedua orang yang turut mengeroyok Gajah Alit segera meninggalkannya dan menghadangnya. Mereka sekarang sudah memegang senjata di tangan masing-masing. Sebuah belati panjang. Mahesa Jenar menjadi jengkel sekali. Sedianya ia sama sekali tak ingin melayani orang itu, supaya tidak kehilangan Lawa Ijo. Tetapi kedua orang itu nekad menyerang Mahesa Jenar. Terpaksa Mahesa Jenar berhenti untuk melayani kedua orang itu. Baik Mahesa Jenar maupun Gajah Alit mengerti akan maksud kedua pembantu Lawa Ijo itu, yaitu untuk memberi kesempatan kepada pemimpinnya supaya dapat meloloskan diri.
Karena itu Gajah Alit pun berusaha untuk menghindari pertarungan dengan lawannya yang tinggal seorang itu untuk dapat mengejar Lawa Ijo. Tetapi lawannya itu pun sudah seperti orang kemasukan setan. Maka akhirnya Mahesa Jenar dan Gajah Alit mengambil keputusan untuk menyelesaikan lawan masing-masing, baru berusaha menangkap Lawa Ijo. Tetapi belum lagi mereka berhasil menyelesaikan pertempuran itu, Lawa Ijo telah meloncat ke atas dinding halaman. Kemudian kembali terdengar suara tertawa itu, suara tertawa yang menusuk-nusuk hati begitu pedihnya seperti suara rintihan hantu kubur. Dengan cepat tertawanya itu makin lama makin terdengar jauh dan lemah.
Menyaksikan hilangnya Lawa Ijo di depan matanya, Mahesa jenar dan Gajah Alit menjadi gusar bukan kepalang. Dan sekarang kegusarannya itu hanya dapat ditumpahkan kepada lawannya yang ketika itu juga sudah berusaha untuk melarikan diri. Maka dengan kekuatan penuh, Mahesa Jenar segera menghantam lawannya. Pisau yang dipegang oleh kedua orang itu sama sekali tak berarti.  Dan sekali pukulan Mahesa Jenar melayang mengenai kepala salah seorang di antaranya, sehingga terdengar suatu jerit ngeri. Disusul teriakan keras dari yang seorang lagi karena tulang-tulang rusuknya rontok disambar kaki Mahesa Jenar. Maka seperti batang pisang keduanya roboh di tanah dan tak bergerak-gerak lagi. Belum lagi gema teriakan itu berhenti, terdengarlah suara keluhan yang tertahan. Rupanya Gajah Alit pun berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia mempunyai cara sendiri untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya yang pendek kukuh itu ia menyambar leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang kokoh ia menekan leher itu sampai nafas lawannya putus.
Namun meskipun pada pagi harinya terjadi kegemparan dalam istana, serta hampir tiap-tiap mulut menyatakan pujian terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah berhasil menggagalkan usaha Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat orang anggotanya, tetapi Mahesa Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga batin lawannya. Meskipun terjadi perkelahian begitu hebatnya, serta beberapa kali terdengar teriakan dan suitan, namun tak seorang pun dari mereka yang tertidur karena pengaruh sirep itu terbangun.
Apalagi suara tertawa itu. Alangkah tajamnya, sehingga mempunyai pengaruh yang luar biasa. Orang yang tidak mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh karenanya, akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.
Sekarang, pada saat ia bertanding melawan Watu Gunung untuk kepentingan Ki Asem Gede, kembali ia mendengar tertawa yang demikian. Mirip sekali dengan suara tertawa Lawa Ijo. Orang-orang yang tak berkepentingan serta tak terlibat dalam perkelahian itu pun menjadi menggigil karenanya. Bahkan beberapa orang telah terduduk lemah tanpa kekuatan lagi untuk dapat berdiri.

Ditulis ulang oleh ~ Alyrayaramburabbani Wadjahpriboemi PutraBungsu Kumbangkelana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar