Selasa, 02 Juli 2019

NOGOSOSRO SABUK INTEN 10





Tetapi meskipun mereka sudah mengetahui hal itu, ketika mereka mengikuti arah pandangan mata Mahesa Jenar, darah mereka tersirap juga melihat seseorang duduk dengan tenangnya di atas seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh mengagumkan. Tetapi, kekaguman mereka segera berubah menjadi keheran-heranan ketika mereka melihat Ki Dalang Mantingan, yang mempunyai nama demikian agungnya itu menunduk hormat kepada Mahesa Jenar.
“Malaikat manakah orang ini, sehingga orang seperti Mantingan masih juga menunduk hormat?” pikir mereka.

Tetapi mereka tidak sempat berpikir banyak, sebab mereka segera melihat Mantingan meloncat turun dan memburu ke arah dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.
“Kau Samparan?” desis Mantingan.
Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil.
“Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding?” tanya Mantingan melanjutkan.
“Ampun Ki Dalang. Aku hanya sekadar menuruti permintaan Watu Gunung,” jawab Samparan gemetar.
Mantingan tersenyum mendengarkan jawaban ini, dan ia heran pula melihat kelakuan Samparan yang begitu pengecut.

Sementara itu Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede yang sudah agak pulih kekuatannya telah pula berdiri di samping Mantingan. Melihat tokoh-tokoh itu, hati Samparan semakin kecil dan wajahnya semakin putih. Untunglah bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang berhati lapang, selapang lautan yang sanggup menampung aliran sungai.
“AKU ampuni kau kalau anakku pada saat ini masih seperti pada saat kau ambil dari suaminya,” kata Ki Asem Gede kemudian.
“Demi Tuhan, putrimu disentuh pun tidak,” jawab Samparan cepat-cepat.
“Antarkan aku padanya,” perintah Ki Asem Gede.
Segera Samparan mempersilahkan Ki Asem Gede, Mahesa Jenar dan Mantingan untuk mengikutinya. Lewat Gandok sebelah barat, mereka masuk ke belakang menyusup masuk ke dapur, dan di sana mereka masuk ke kamar mandi yang kosong tak berair. Ternyata dasar kolam kamar mandi itu adalah sebuah pintu rahasia untuk memasuki ruang di bawah tanah.
Ki Asem Gede dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Apakah tempat itu bukan suatu alat perangkap saja.
“Kau mau main gila Samparan?” tanya Ki Asem Gede dengan suara geram.
“Mana aku berani berbuat sesuatu terhadap kalian,” sahut Samparan bersungguh-sungguh. Meskipun demikian mereka harus berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian berjalan dahulu, baru Samparan di belakangnya kemudian Mahesa Jenar dan Mantingan dengan trisulanya di belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-kalau Samparan akan mengkhianati mereka. Ruang di bawah tanah itu terdiri dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah ruangan yang terbuka dan kosong, diterangi beberapa obor yang ditancapkan pada dinding ruangan. Di bagian atas ruangan tampak beberapa lubang udara yang dengan jalur-jalur bumbung dari tanah liat dihubungkan dengan udara terbuka. Sedang bagian kedua adalah sebuah ruang yang dipisahkan oleh sebuah dinding papan dengan ruang yang pertama. Dinding itu mempunyai sebuah pintu yang kuat dan dikancing dengan sebuah palang kayu yang cukup besar.
“Di situlah Nyai Wirasaba disimpan oleh Watu Gunung,” kata Samparan sambil menunjuk pada palang pintu yang besar itu.
Ki Asem Gede jadi tertegun. Ia ragu-ragu untuk membuka pintu itu. Jangan-jangan ada sesuatu yang berbahaya. Rupanya Samparan mengerti isi hati Ki Asem Gede, maka sambungnya, “Bolehkah aku membukanya?”
Ki Asem Gede masih ragu-ragu sebentar, tetapi kemudian katanya, “Bukalah, tetapi jangan main gila.”
Samparan maju perlahan-lahan mendekati pintu itu. Matanya memandang dengan tajam, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam ruangan yang tertutup itu. Baru setelah ia merenung sejenak, tangannya bergerak membukanya.
Baru saja pintu itu terbuka, serentak mereka terkejut melihat seorang yang meloncat keluar dan langsung menyerang Samparan dengan sebuah patrem. Untunglah bahwa Samparan sempat menghindar. Tetapi serangan itu tidak hanya terhenti di situ, bahkan bertambah sengit. Hanya sayang bahwa penyerangnnya tidak mempunyai pengetahuan tata berkelahi yang cukup sehingga dengan mudahnya Samparan mengelakkan diri.
Ketika orang itu melihat beberapa orang lain berada di tempat itu, apalagi setelah melihat Ki Asem Gede, ia jadi tertegun dan sebentar kemudian berubah menjadi keheran-heranan.
Tetapi sesaat kemudian ia berlari menjauhkan diri dan memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki Asem Gede.
“Ayah!” serunya.

Tetapi kemudian suaranya di kerongkongan. Ki Asem Gede pun memandang putrinya dengan terharu. Dengan susah payah ia berhasil membendung air matanya sehingga tidak mengalir. Baru beberapa lama ia tidak mengujungi putrinya itu. Dan sekarang ia menyaksikan putrinya dalam keadaan yang menyedihkan.
Orang-orang yang menyaksikan perisitiwa itu, mau tidak mau juga merasa terharu. Bahkan Samparan, seorang iblis yang selama ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan sedikitpun, menyaksikan hal itu dengan suatu perasaan yang aneh. Perasaan yang belum pernah dimilikinya.
Setelah suasana agak reda, segera mereka keluar dari ruangan di bawah tanah itu, dan untuk menenangkan perasaan Nyai Wirasaba, mereka sementara waktu beristirahat di gandok sebelah barat.
“Setan-setan itu tidak berbuat jahat kepadamu?” tanya Ki Asem Gede kepada putrinya.
Nyi Wirasaba tidak segera menjawab. Tetapi ia memandang Samparan dengan pandangan yang jijik, benci dan penuh kemarahan.
“Manakah kawan-kawan iblis itu?” tanyanya kepada Ki Asem Gede, tetapi sementara itu beberapa kali Nyi Wirasaba memandang Mahesa Jenar dan Mantingan dengan penuh pertanyaan. Lamat-lamat ia ingat, bahwa dengan Mantingan ia pernah berkenalan. Tetepi di mana, dan kapan? Sedangkan yang satu lagi sama sekali ia belum pernah melihat.
Ki Asem Gede mengerti perasaan putrinya, maka segera diceritakan apakah yang sudah terjadi. Dan tiba-tiba saja Nyi Wirasaba berdiri lalu membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar dan Mantingan. Dengan suara yang terputus-putus ia menyatakan betapa besar terima kasihnya atas pertolongan mereka. Sekaligus ia teringat bahwa Mantingan telah dikenalnya pada waktu mereka masih sama-sama kecil. Tetapi yang kemudian tak lagi pernah bertemu sejak Mantingan mengikuti gurunya ke Wanakerta.

Sementara, Mahesa Jenar dan Mantingan tak habis-habisnya memandangi wajah Nyi Wirasaba. Wajarlah kiranya kalau Watu Gunung tergila-gila kepadanya. Betapa bahagianya orang itu, yang telah menerima anugerah Tuhan berupa kecantikan wajah yang sempurna, dan keserasian tubuh yang tanpa cela. Mantingan yang pada masa kanak-kanaknya sering bermain dan bertengkar bersama, tidak pernah membayangkan bahwa pada usia dewasanya perempuan ini akan memiliki kelebihan dari kawan-kawannya sepermainan. Tetapi, tak seorang pun yang mengetahui bahwa Nyai  Wirasaba sendiri selalu meratap di dalam hati, menyesali nasibnya yang jelek. Karena memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang bulat, yang telah beberapa kali menjeratnya ke dalam kesulitan-kesulitan yang hampir tak dapat diatasi. Bahkan pada saat yang terakhir ini, ia telah mengambil keputusan bahwa apabila tak ada pertolongan yang datang, ia lebih baik mengakhiri hidupnya dengan sebilah patrem yang berhasil dibawanya di dalam sabuknya, daripada hidup di dalam lingkungan iblis-iblis itu. Setelah perasaan Nyi Wirasabaa agak tenang, maka segera Ki Asem Gede mengajaknya meninggalkan rumah itu. Di luar masih banyak orang yang sejak tadi belum mau meninggalkan halaman itu. Meskipun mereka setiap hari melihat wajah Nyi Wirasaba, kalau Nyi Wirasaba kebetulan pergi ke pasar atau ke sawah, tetapi kali ini mereka ingin juga melihat wajah itu. Wajah yang menjadi sebab berakhirnya kelaliman Samparan dan kawan-kawannya. Ketika Nyi Wirasaba tampak melangkah ke luar pintu rumah Samparan, orang-orang berdesak-desakan mengerumuninya. Nyi Wirasaba menunduk malu. Di belakangnya menyusul Ki Asem Gede, Mantingan, Mahesa Jenar dan kemudian Samparan.

Suasana segera berubah menjadi tegang kembali ketika tiba-tiba Mahesa Jenar membalikkan diri, dan secepat kilat menangkap tangan Samparan dan diputarnya ke belakang. Samparan terkejut bukan kepalang, sambil menyeringai kesakitan. Tangan Mahesa Jenar yang menangkapnya itu begitu erat seperti tanggem besi yang menjepit tangannya. Bahkan tidak hanya Samparan yang terkejut, tetapi juga orang-orang yang menyaksikan, termasuk Ki Asem Gede dan Mantingan.
“Adakah aku berbuat salah?” rintih Samparan.
“Kau tidak berbuat salah, tetapi aku ingin mendapat keterangan dari kau,” jawab Mahesa Jenar.
Samparan dan orang-orang yang menyaksikan sibuk menduga-duga, keterangan apakah gerangan yang dikehendaki oleh Mahesa Jenar.
“Samparan,” Mahesa Jenar melanjutkan, “kau dan Watu Gunung adalah termasuk dalam satu gerombolan yang mempunyai persamaan kesenangan. Yaitu berbuat kejahatan. Dalam dunia kejahatan, sahabat jauh lebih berharga dari saudara, bahkan orang tua. Rahasia rahasia yang tak pernah didengar oleh keluarga sendiri, kadang-kadang didengar oleh sahabat-sahabatnya. Nah, katakanlah, aku yakin kau mengetahuinya, apakah hubungan Watu Gunung dengan Lawa Ijo?”.
Mendengar pertanyaan ini Samparan terkejut seperti disambar petir meleset. Tidak pula kalah terkejutnya Ki Asem Gede, Mantingan dan mereka yang ikut mendengarnya. Nama Lawa Ijo adalah nama yang tabu diucapkan. Sebab dengan menyebut namanya saja, sudah cukup alasan bagi Lawa Ijo untuk membunuh. Meskipun pada saat-saat terakhir Lawa Ijo tidak pernah lagi muncul, tetapi apabila nama itu disebutkan, orang yang mendengarnya telah cukup menggigil ketakutan.
Samparan tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia berdiri pada suatu titik yang berbahaya sekali. Ia semakin takut kepada Mahesa Jenar, yang sama sekali tak diduganya akan mengajukan pertanyaan semacam itu. Dari manakah gerangan ia mencium kabar tentang Watu Gunung dan hubungannya dengan Lawa Ijo? Teranglah bahwa ia bukan orang sejajarnya, bahkan tidak sejajar dengan Mantingan. Kalau tidak, ia tidak akan seenaknya saja menyebut nama Lawa Ijo.
Ki Asem Gede dan Mantingan pun tergetar juga hatinya. Mereka berdua pun maklum akan kehebatan Lawa Ijo.
“Jawablah!”– desak Mahesa Jenar. Sementara itu, pegangannya pun makin dikuatkan. Samparan berdesis menahan sakit.
“Aku tak tahu,” jawab Samparan mencoba berbohong. Tetapi belum lagi ia selesai mengucapkan jawabannya, tangannya yang terpuntir itu terasa semakin sakit, dan terangkat ke atas.
“Kau tak mau menjawab?” geram Mahesa Jenar.
Keringat dingin memenuhi tubuh Samparan. Ia merasa serba salah, dan seakan-akan ia telah dihadapkan pada suatu keharusan memilih, mati di tangan Lawa Ijo atau Mahesa Jenar.
“Aku tak mengetahui seluruhnya. Aku hanya pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh Watu Gunung,” jawab Watu Gunung.
“Apa katanya?” desak Mahesa Jenar pula. Kembali Samparan ragu-ragu.
“Kau takut kepada Lawa Ijo?” bentak Mahesa Jenar yang sudah mulai jengkel. “Bagus. Kau takut dibunuhnya. Tetapi bagaimana kalau yang melaksanakan pembunuhan itu aku?” lanjut Mahesa Jenar.
Tubuh Samparan mulai menggigil. Ia sudah melihat kedua kawannya dipecahkan kepalanya oleh orang itu. Kalau ia tidak menuruti perintahnya, jangan-jangan kepalanya akan dipecahkan pula. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berkata, dengan harapan Lawa Ijo sudah tidak akan muncul kembali.
“Yang aku ketahui,” katanya, “Watu Gunung adalah tidak saja anggota gerombolan itu, tetapi ia adalah saudara muda seperguruan Lawa Ijo.”
Mendengar jawaban Samparan ini, orang-orang jadi gemetar dan ketakutan. Saudara muda Lawa Ijo binasa di desa mereka.
“Katakan yang lain, aku jadi tanggungan kalau Lawa Ijo marah,” sahut Mahesa Jenar. Samparan merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah itu.
“Watu Gunung pasti pernah berkata, di mana Lawa Ijo sekarang.”
Samparan dengan sangat terpaksa akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya bergerak, tiba-tiba ia merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia terpelanting jatuh. Dan sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat lewat tempatnya berdiri tadi, langsung mengenai dinding dan tembus masuk ke dalam rumah. Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok tubuh di antara penonton meloncat lari meninggalkan halaman. Mantingan tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat kilat ia memburunya, yang kemudian disusul oleh Mahesa Jenar. Tetapi Mantingan belum berpengalaman menghadapi orang-orang gerombolan Lawa Ijo. Maka ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang yang dikejarnya itu tiba-tiba berhenti membalikkan diri, dan sebuah sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan main. Secepat kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya. Terdengarlah suara berdentang dengan hebatnya. Tangan Mantingan yang memegang trisula itu bergetar hebat, sedangkan pisau yang dilemparkan ke dadanya itu berubah arah. Tetapi meskipun demikian, lengannya tergores juga sedikit. Ia tertegun mengalami peristiwa itu. Dan Mahesa Jenar yang melihat darah di lengan Mantingan jadi terhenti pula. Dan sementara itu orang yang telah melemparkan pisau itu sempat menyelinap di antara pepohonan dan menghilang. Dari kejauhan terdengarlah gema suara orang tertawa. Suara itu mengiris ulu hati seperti suara ringkikan hantu kubur.
“Lawa Ijo telah datang,” desis Mahesa Jenar.
“Diakah Lawa Ijo?” tanya Mantingan.
“Mungkin, tetapi setidak-tidaknya salah seorang dari gerombolan itu,” jawab Mahesa Jenar. “Aku ingin suatu kali dapat bertemu dengan Lawa Ijo. Nah lupakan dia Kakang Mantingan untuk sementara. Marilah kita kembali. Mungkin Samparan dapat menunjukkan tempatnya,” lanjut Mahesa Jenar.

Maka segera mereka kembali ke rumah Samparan. Tampaklah orang-orang yang masih berdiri di halaman itu berwajah pucat-pucat ketakutan. Beberapa diantaranya menggigil, terduduk tak berdaya. Apalagi waktu terdengar suara tertawa di kejauhan.
Ketika Ki Asem Gede melihat tangan Matingan berdarah, cepat ia berlari menyongsongnya.
“Kau terluka?” tanya Ki Asem Gede.
Mantingan mengangguk mengiakan.
Cepat-cepat Ki Asem Gede memeriksa luka itu. Dan sebentar kemudian tampak ia mengangguk-angguk. “Tidak beracun,” gumamnya. “Karena itu marilah kita lekas meninggalkan tempat ini dan menyerahkan kembali anakku kepada suaminya. Sementara itu aku dapat mengobati luka Adi Mantingan, yang untung tak berbahaya”.

Tetapi, sementara itu Ki Asem Gede melihat Samparan seperti orang yang tidak sadar terduduk, di tanah. Tingkah Samparan tampaknya menggelikan. Sifat-sifat garangnya sama sekali tak berbekas. Apalagi setelah ia hampir saja disambar pisau. Yang ia tahu pasti, bahwa itulah pisau gerombolan Lawa Ijo.
“Samparan, kau kenapa?” tegur Mahesa Jenar.
Samparan memandang kepada Mahesa Jenar dengan mata yang layu dan mengandung suatu permohonan untuk mendapat perlindungan.
Mahesa Jenar menangkap maksud itu. “Samparan, kau jangan berbuat demikian. Tidakkah kau malu pada dirimu sendiri? Bagaimanapun kau adalah laki-laki yang mengenal cara untuk membela diri. Meskipun demikian, kalau kau memang merasa tak mampu berdiri sendiri, kau dapat mengikuti Kakang Mantingan nanti ke Prambanan. Aku memang masih memerlukan engkau. Tetapi pada saat ini kau barangkali tidak lagi dapat mengucapkan sepatah kata pun. Kakang Mantingan nanti kalau kembali ke Prambanan, akan mampir kemari menjemputmu. Dan percayalah bahwa pada waktu ini Lawa Ijo tidak akan berani menginjak rumah ini. Sebaliknya kau pun jangan meninggalkan rumah ini. Sebab ada dua kemungkinan, ditangkap oleh Lawa Ijo atau akulah yang akan memburumu” .
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang meyakinkan itu, Samparan menjadi agak  tenang sedikit. Perlahan-lahan ia berdiri dan membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar. Ia mempunyai suatu kesan yang aneh. Kehebatannya, kegarangannya, tetapi juga keluhuran budinya. Sehingga tidak langsung, ia telah memandang ke dirinya sendiri, yang beberapa saat lalu masih merasa sebagai seorang yang tak terkalahkan. Alangkah luasnya dunia ini. Dan berapa saja orang-orang yang sakti tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Yang satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat mengatasinya pula. Dalam waktu yang sesingkat itu, Samparan telah menyaksikan orang-orang seperti Watu Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi nama-nama yang pernah didengarnya dan yang belum dikenalnya.

Segera setelah itu, Ki Asem Gede beserta kawan-kawannya meninggalkan tempat itu untuk menghantar Nyi Wirasaba kepada suaminya yang rumahnya tak begitu jauh, hanya berantara dua bulak yang tak begitu lebar.
Di perjalanan itu, timbullah suatu pertanyaan di hati Mahesa Jenar maupun Mantingan. Sebenarnya pertanyaan itu telah timbul sejak mereka mengetahui persoalan Nyi Wirasaba. Dalam persoalan ini, kenapa Ki Wirasaba sendiri tidak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya? Bahkan yang didengar oleh Mahesa Jenar dari murid Wirasaba yang menghadap Ki Asem Gede, sudah ada dua orang murid Wirasaba terluka. Mengingat bahwa Ki Wirasaba sedikitnya memiliki empat orang murid, menunjukkan bahwa ia pun memiliki pengetahuan tentang tata berkelahi, tetapi ia tak berbuat apa-apa. Itulah suatu hal yang aneh. Mungkinkah Ki Wirasaba tidak mencintai istrinya, atau barangkali terikat sesuatu perjanjian dengan Samparan dan kawan-kawannya?
Mahesa Jenar dan Mantingan, seperti orang yang sepakat untuk tidak menanyakan hal itu. Mereka takut kalau-kalau ada suatu rahasia yang dapat menyinggung kehormatan Ki Asem Gede.
Setelah mereka berjalan beberapa lama, segera mereka memasuki desa tempat Ki Wirasaba tinggal.
Rumah Ki Wirasaba adalah rumah yang cukup besar, berdiri di tepi jalan induk di desanya. Berhalaman luas dan mempunyai ciri-ciri yang agak berbeda dengan halaman di sekelilingnya. Halaman Ki Wirasaba disegarkan oleh tanaman-tanaman berbunga yang berdaun hijau sejuk. Di sudut halaman terdapat sebuah jambangan berisi air yang bersih bening. Dan di sana-sini bergantung sangkar-sangkar burung. Berkeliaran pula binatang-binatang piaraan ayam, itik, angsa dan sebagainya. Halaman itu berdinding batu merah yang disusun teratur, yang seakan-akan menjadi batas dari dua daerah yang tampak sangat berlainan. Halaman-halaman lain di desa itu masih ditumbuhi bermacam-macam pohon serba tak teratur. Bahkan di sana-sini masih ada pohon-pohon liar yang tumbuh, rumpun-rumpun bambu yang hebat, pohon beringin tua, dan randu alas, yang masih merupakan tempat-tempat yang dianggap keramat oleh penduduk di sekitarnya.
Mahesa Jenar dan Mantingan waktu melangkahkan kaki memasuki halaman rumah Ki Wirasaba, telah dijalari suatu perasaan aneh. Mereka berdua adalah orang-orang yang telah banyak melihat daerah-daerah lain, bahkan kota-kota besar, tetapi jarang mereka merasakan kesejukan seperti yang dirasakan pada saat itu. Alangkah mesranya tangan yang telah menggarapnya, sehingga halaman itu menjadi begitu indahnya.

Tetapi mereka tidak sempat merasakan kesejukan itu lebih lama lagi. Tiba-tiba mereka tersentak melihat Nyi Wirasaba yang tiba-tiba saja berlari mendahuluinya. Pintu rumah itu, yang ternyata tidak terkunci, didorongnya kuat-kuat sehingga hampir saja ia jatuh tertelungkup. Ia segera menghilang di balik pintu rumahnya. Segera setelah itu terdengarlah suara Nyi Wirasaba bercampur isak yang tertahan. “Kakang …, Kakang Wirasaba …, aku kembali Kakang. Kembali kepadamu….” Sesudah itu, yang terdengar hanyalah tangis Nyi Wirasaba yang tak tertahan lagi.
Ki Asem Gede, Mantingan dan Mahesa Jenar tertegun sejenak. Suatu peristiwa yang mengharukan. Pertemuan antara seorang istri dengan suaminya yang dicintai, setelah mereka dipisahkan beberapa saat tanpa adanya suatu harapan untuk dapat bertemu kembali.
Ki Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti patung.
Sebentar kemudian terdengarlah suara yang berat dan dalam. “Nyai, masihkah aku berhak menerima kau kembali? Atau masih berhakkah kau kembali kepadaku …?”

Di tulis ulang oleh ~ Alyrayaramburabbani Wadjahpriboemi PutraBungsu Kumbangkelana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar