Selasa, 02 Juli 2019

NOGOSOSRO SABUK INTEN 7



Ki Asem Gede semakin marah, direndahkan sedemikian. Cepat ia membungkuk mengambil palang pintu yang telah dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja kecil di atas bale-bale di antara kelima orang itu. Begitu hebatnya lemparan Ki Asem Gede sehingga meja kecil yang tertimpa palang pintu itu pecah berserak-serakan. Suara tertawa kelima orang itu jadi terputus karena terkejut bukab kepalang, dan cepat-cepat meloncat menjauhi dan turun dari balai-balai itu. Mereka sama sekali tidak mengira kalau orang tua itu masih memiliki tenaga yang sedemikian kuatnya. Tetapi, sebentar kemudian terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak. “Bagus …, bagus” katanya, “ Alangkah hebatnya”.
Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi. Kembali ia berteriak. “Aku datang untuk mengambil anakku.”
Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin. “Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar daerah ini, dengan menyimpan anakmu.”
“Apa kau bilang?” potong Ki Asem Gede.
“Anakmu telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dengan mengganggu ketentraman rumah tangga orang, meskipun ia sudah bersuami.”
“Omong kosong!” teriak Ki Asem Gede semakin marah.

Kembali Samparan tertawa tertawa dingin, “Sudah seharusnya kau tidak percaya,” sambungnya, “sebab kau ayahnya. Tetapi ketahuilah bahwa di daerah ini telah timbul keributan karena pokal anakmu. Bahkan lebih dari itu, di daerah barat daya telah timbul wabah penyakit. Kau tahu sebabnya? Ketahuilah, bahwa itu disebabkan karena salah istrimu itu pula, sehingga danyang-danyang menjadi marah.”
Ki Asem Gede sudah sampai pada puncak kemarahannya sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia tahu benar betapa liciknya orang-orang itu, dan betapa pandainya mereka memutar balik kenyataan.
“Samparan…” jawab Ki Asem Gede dengan suara menggigil. “Aku tahu siapakah kau. Jadi kau tak usah banyak bicara di hadapanku. Aku tahu bahwa anakku menolak menuruti kehendakmu dan kawan-kawanmu, gerombolan iblis ini, sehingga kau terpaksa menculiknya dan menyimpannya. Sekarang aku minta anakku itu kau serahkan kepadaku.”

Samparan mendengus lewat hidungnya, lalu berkata lagi, “Aku tetap pada keteranganku. Dan kami berlima atas persetujuan rakyat di daerah ini, telah mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman atas anakmu itu. Aku hanya meniru apakah hukuman yang dijatuhkan pada orang demikian pada jaman dahulu, yaitu dilempari batu sampai mati.”
Mendengar jawaban itu, tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil dan giginya gemertak menahan marah yang hampir meledak. “Hanya Sultan di Demak yang berhak menjatuhkan hukuman mati, atau orang yang telah mendapat kuasanya. Orang-orang Pucangan ini pun tak berhak melakukan itu, apalagi iblis-iblis macam kau ini.” teriak Ki Asem Gede.
Samparan mengangguk-angguk, lalu kembali terdengar tawa iblisnya. “Betul…, betul Ki Asem Gede, tetapi di daerah terpencil sejauh ini, jari-jari kekuasaan Demak tak begitu terasa. Maka sudah sewajarnyalah kalau kami yang merasa sedikit ada kemampuan, membantu berlakunya undang-undang di daerah ini, menghapuskan kekhianatan.”
Hampir Ki Asem Gede tak dapat menahan dirinya. Untunglah bahwa pikirannya masih dapat bekerja. Ia merasa tak akan mampu melawan kelima orang itu.
“Di Demak,” kata Ki Asem Gede kemudian, “untuk tiap-tiap keputusan ada hak pembelaan. Berlaku jugakah peraturan ini?”
Mendengar pertanyaan ini kelima orang itu tampak berpikir. Tetapi sebentar kemudian terdengar kembali tawa iblis keluar dari mulut Samparan.
“Kau cerdik sekali Ki Asem Gede. Kau ingin menjadikan persoalan ini menjadi persoalan umum.”
“Bukankah telah kau katakan bahwa putusanmu itu atas persetujuan penduduk di daerah ini? Bukankah dengan demikian hal itu sudah menjadi persoalan umum?”
Kembali Samparan merenung. Tampak ia berpikir untuk mengatasi usul Ki Asem Gede itu. Kalau sampai terjadi ada semacam pengadilan bagi persoalan ini, dimana dapat hadir saksi-saksi, maka terang hal ini tidak menguntungkan pihaknya. Tetapi akhirnya ia ketemukan juga suatu cara untuk mengatasinya.
“Ki Asem Gede,” katanya, “kami adalah bangsa yang mengenal keadilan. Kenapa kami keberatan kalau diadakan pembelaan? Tetapi karena kekuasaan tertinggi dalam persoalan ini adalah di tangan kami, maka kamilah yang menentukan cara pembelaan itu.”
“Bagaimana caranya?” Dalam kesulitan ini Ki Asem Gede hanya dapat mengharap suatu perkembangan persoalan yang dapat menguntungkan dirinya.
Samparan menarik alisnya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, “Keadilan yang tertinggi terletak di tangan takdir. Karena itu pembelaan dalam persoalan ini pun sudah seharusnya kalau didasarkan atas hal itu. Tegasnya, pembelaan itu hanya dapat dilakukan dengan sebuah pertarungan. Kau boleh memilih seorang pembela, atau barangkali kau sendiri? Sedang di pihak kami pun akan ada seorang yang harus mempertahankan keputusan kami itu.

Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak takdir.” Kemudian Samparan menarik nafas panjang-panjang. Ia yakin kalau pihaknya pasti akan menang. Sebab bagaimana hebatnya Ki Asem Gede, tetapi karena umurnya yang sudah lanjut itu, tentu tidak akan berbahaya lagi.
“Setan…,” dengus Ki Asem Gede. Tetapi meskipun demikian ia masih berusaha untuk mendapat suatu kesempatan.
“Bagus…” katanya kemudian, “aku terima cara itu. Sekarang aku minta ditetapkan waktu. Minggu depan barangkali?”
Samparan jadi tertawa terbahak-bahak. Ia menangkap maksud Ki Asem Gede. “Kau memang licik sekali. Kau mengharap bahwa kau dapat mencari bantuan orang lain. Atau dalam kesempatan itu kau dapat membebaskan anakmu. Nah Ki Asem Gede… supaya persoalan ini tidak berlarut-larut, aku tetapkan hari pertarungan ini adalah hari ini. Bukankah fajar sudah datang?”
Seperti disengat ribuan lebah, Ki Asem Gede mendengar putusan Samparan itu. Bahwa setan itu betul-betul licik, kini telah terbukti. Dan ia sesali ketergesa-gesaannya tadi. Kalau saja ia tadi membicarakan soal ini dengan sahabat-sahabatnya.

Ki Asem Gede sendiri bukan berarti takut menghadapi persoalan itu, meskipun misalnya ia harus menyerahkan nyawanya. Tetapi taruhannya terlalu besar. Kalau ia kalah, berarti kekalahan itu berlipat dua, sedangkan ia sendiri sadar bahwa tenaganya sudah mulai surut. Apalagi menghadapi iblis-iblis yang segar dan sedang tumbuh.
Kembali Ki Asem Gede menyesali dirinya. Biasanya ia berlaku tenang. Tetapi menghadapi persoalan satu-satunya anak yang diharapkan dapat melanjutkan namanya, ia jadi kehilangan ketenangan itu.

Tetapi pada saat ia sedang kebingungan, tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang berat, dan mengandung pengaruh yang luar biasa. Katanya, “Ki Asem Gede akan menerima ketetapan hari itu. Dan Ki Asem Gede akan menunjuk aku sebagai pembelanya.”
Mendengar suara itu, semua yang berada di dalam ruangan segera memandang ke arah pintu di mana berdiri seorang dengan sikap yang tenang meyakinkan. Itulah Mahesa Jenar.
Melihat kehadiran Mahesa Jenar tanpa diduga-duga itu, Ki Asem Gede menjadi girang bukan kepalang, sampai hampir-hampir ia berteriak. Cepat-cepat ia melangkah mendekati dan menggoyang-goyangkan tangan sahabatnya yang baru saja dikenalnya itu.
Sementara itu kelima orang penghuni rumah itu memandang dengan heran dan mencoba menebak-nebak. Siapakah gerangan orang yang begitu besar kepala sehingga berani menawarkan diri untuk membela anak Ki Asem Gede itu? Sedang wajah orang itu belum pernah dikenalnya.
“Siapakah dia?” tanya Samparan kemudian.
Hampir saja Ki Asem Gede menyebut gelar Rangga Tohjaya untuk sekaligus menakut-nakuti kelima orang itu. Tetapi melihat gelagat itu, segera Mahesa Jenar mendahului, “Aku adalah Mahesa Jenar, sahabat Ki Asem Gede.”
“Mahesa Jenar?” ulang Samparan. Nama itu pun sama sekali tak terkenal di daerah ini. Orang yang paling mereka takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu lalu berhasil menangkap tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber Nyawa. Dan seandainya Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum tentu dapat mengalahkan mereka berlima yang merasa mempunyai kekuatan dua kali lipat dari kekuatan Samber Nyawa itu. Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di situ, ia takkan berani membuat tantangan pertarungan yang demikian. Tetapi sekarang yang ada hanya orang yang sama sekali tak ternama.

Melihat keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau mereka mengubah peraturannya, segera Mahesa Jenar menambahkan, “Aku kira tak ada lagi persoalan. Apapun yang akan terjadi atas diri kami nanti, yang melaksanakan pertandingan itu, bukanlah suatu soal yang perlu direnungkan. Aku adalah laki-laki seperti kalian juga.”
Perkataan Mahesa Jenar ini rupa-rupanya telah berhasil menyentuh harga diri Samparan serta kawan-kawannya, apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar mendapat tandingan.

Dalam pada itu salah seorang kawan Samparan segera melangkah setindak maju, dan dengan suaranya yang nyaring berkata, “Kakang Samparan, apa yang sudah terucapkan sebaiknya dilaksanakan. Aku belum kenal orang ini, dan orang ini pun rupa-rupanya belum kenal kami. Baiklah kini kami saling berkenalan. Aku usulkan sebagai pelaksanaan dari peraturan itu, pertandingan diadakan di halaman rumah ini secara terbuka. Siapa saja boleh menyaksikan. Dan satu soal lagi, pertarungan dilaksanakan sampai selesai. Maksudku, sampai salah satu pihak tak mampu melawan. Jadi tidak boleh menarik diri. Siapa yang menang mempunyai hak untuk berbuat apapun atas yang kalah, dan atas barang taruhan.” Kata-kata itu diucapkan dengan penuh keyakinan, bahwa Mahesa Jenar merupakan sebuah umpan yang sangat lunak.
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Sedang Ki Asem Gede yang semula sangat girang, kini menjadi agak cemas juga. “Kalau… seandainya… Mahesa Jenar kalah…? Akh tak mungkin,” pikirnya.
Sementara itu Samparan tak mengangguk meskipun ia tidak seyakin Watu Gunung, kawannya yang telah melengkapi peraturan tadi. Ia menduga bahwa orang itu pun sedikit-banyak mempunyai pegangan sehingga berani menyatakan dirinya sebagai pembela. BELUM lagi ia berkata apa-apa kembali Watu Gunung menyambung, “Nah sekarang siapakah diantara kami yang pantas melayani kawan itu?”
Dari nada pertanyaan ini, Samparan tahu bahwa Watu Gunung bernafsu untuk menjadi jago yang harus bertanding dengan Mahesa Jenar. Watu Gunung adalah seorang yang termasuk paling kuat di antara mereka. Kalau Samparan yang terpilih menjadi pemimpin, adalah karena dialah yang tertua dan terbanyak mempunyai pengalaman, baik dalam tata perkelahian maupun dalam lika-liku pembicaraan dan tipu muslihat. uAgar tidak mengalami kegagalan, Samparan pun sependapat dengan Watu Gunung, bahwa sebaiknya orang yang terkuatlah yang harus melayani orang asing ini, sehingga tidak ada kemungkinan mengalami kekalahan.
“Baiklah kawan-kawan,” katanya, “aku memilih Adi Watu Gunung untuk melayani tamu kita nanti”.
Watu Gunung menjadi gembira mendengar putusan ini. Sebaliknya kawan-kawannya yang lain merasa kecewa karena tidak dapat bermain-main dengan seorang yang sama sekali tak bernama tetapi sudah berbesar kepala untuk mencoba-coba menghalang-halangi kemauan mereka. Tetapi bagaimana pun mereka akan turut merasakan hasil kemenangan Watu Gunung nanti. Memang, sebenarnya Watu Gununglah yang paling berkepentingan pada saat itu. Sebagai seorang pemuda, sebelum meninggalkan kampung halamannya, dahulu ia pernah berangan-angan untuk dapat mengawini anak Ki Asem Gede. Tetapi ia kalah beruntung dengan Wirasaba, sehingga ia terpaksa mengalami patah hati. Sekarang, ia ingin membalas sakit hatinya dengan menculik Nyi Wirasaba itu.

Watu Gunung berperawakan tinggi gagah, bertubuh kekar, dan sebenarnya ia agak tampan juga. Kalau ia sejak semula menjadi orang baik-baik, mungkin ia juga akan mendapatkan istri yang cantik. Tetapi sekarang, hampir semua perempuan menjadi pingsan kalau mendengar nama Watu Gunung disebut orang.
“Sekarang,” kata Samparan kemudian, “ sambil menunggu siang, sebaiknya tamu-tamu ini kami persilahkan beristirahat di gandok sebelah timur. Adi Wisuda, tolong antarkanlah tamu kita ke sana,”
Maka, orang yang dipanggil Wisuda, salah seorang dari lima orang itu, segera mempersilahkan Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar untuk mengikutinya ke gandok sebelah timur. Di sana, mereka berdua ditinggalkan untuk beristirahat.
Ki Asem Gede terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, ketika dilihatnya Mahesa Jenar segera merebahkan dirinya di atas sebuah amben, katanya, “Ki Asem Gede, semalaman aku tidak tidur, dan pagi-pagi benar aku sudah harus berpacu kuda dengan Ki Asem Gede, maka sebaiknya aku tidur sebentar agar aku nanti dapat melayani Watu Gunung itu dengan sedikit ada kegembiraan”
Sesudah berdiam diri sebentar, terdengarlah segera nafas Mahesa Jenar mengalir secara teratur. Ia sudah tertidur.

Ki Asem Gede heran bukan main. Sebentar lagi ia harus mengadu tenaga antara hidup dan mati melawan seorang yang termasuk mempunyai kehebatan dalam tata pertarungan. Tetapi sekarang, dengan enaknya ia tidur mendekur. Ketika hal itu direnungkan dalam-dalam, ternyata Mahesa Jenar sama sekali tak memandang remeh calon lawannya. Dengan beristirahat, meskipun hanya sebentar, ia akan dapat memulihkan tenaganya, sehingga dengan demikian ia akan dapat bertanding dengan baik. Mendapat pikiran yang demikian ia pun merasa bahwa dirinya juga perlu mengaso, siapa tahu tenaganya nanti diperlukan. Ternyata hatinya tidak setenang Mahesa Jenar. Ia tetap kuatir akan nasib anak satu-satunya itu, dan ia juga khawatir kalau Samparan dan kawan-kawannya berbuat curang. Karena itu ia hanya berbaring. Matanya sama sekali tak dapat dipejamkan.

Pada saat itu sinar mahatari pagi telah mulai masuk menyusup lubang-lubang dinding meskipun masih condong sekali. Sekali dua kali telah terdengar suara gerobag lewat di jalan di depan rumah itu. Dan di halaman telah sibuk beberapa orang mengatur arena untuk bertanding siang nanti. Beberapa orang yang lewat, ketika melihat beberapa tonggak ditancapkan dan tali-tali direntangkan, mereka tahu bahwa akan ada pertandingan lagi di halaman rumah Samparan yang juga dikenal sebagai rumah setan. Sebenarnya tak seorang pun yang ingin dekat dengan rumah serta penghuninya itu, sebab mereka takut kalau entah harta kekayaannya, entah ternaknya, dan yang ditakuti adalah kalau istri atau gadisnya dikehendaki oleh iblis-iblis itu. Tetapi di samping itu mereka juga ingin melihat tiap-tiap pertarungan yang memang sering diadakan di halaman itu, dengan mengharap-harap sekali waktu ada orang yang dapat mengalahkan, syukur mengubur kelima iblis penghuni rumah itu. Tetapi sampai sekarang, kalau ada orang yang menuntut istri atau anaknya, dan terpaksa melewati pertandingan di arena itu, tentu dibinasakan dengan kejamnya. Sedang istri atau anak mereka, malahan menjadi barang taruhan yang makin tak berharga.

Hal ini, Demang Pucangan sendiri tak dapat mengatasinya. Dan tak seorangpun berani melaporkan kepada atasan yang berwenang. Sebab dengan perbuatannya itu nyawanya jadi terancam.

Kembali kali ini akan ada sebuah pertandingan. Orang sudah menduga bahwa hal ini tentu berhubungan dengan hilangnya Nyi Wirasaba. Tetapi siapakah yang akan memasuki arena?. Ayahnya, Ki Asem Gedekah? Atau salah seorang muridnya? Atau siapa?
Sementara itu Mahesa Jenar masih enak-enak tidur. Berbareng matahari semakin tinggi, Ki Asem Gede semakin gelisah.
Adalah di luar dugaannya kalau pada saat itu salah seorang pelayan Samparan masuk ke gandok itu dengan membawa hidangan minuman dan makanan. Rupanya mereka akan menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang baik hati, serta perbuatannya itu betul-betul untuk kepentingan penduduk setempat.
Dengan ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki Asem Gede mencium minuman dan makanan itu, kalau-kalau ada semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi ketika menurut pendapatnya tak terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia mencoba mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan makan juga. Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar bersih.
“Rupanya Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang sudah-sudah,” pikir Ki Asem Gede.
Sementara itu Mahesa Jenar telah menggeliat bangun. Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya yang nampak merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam hidangan, ia memandang Ki Asem Gede dengan penuh pertanyaan. KI Asem Gede tahu bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan, “Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan.  Aku, sebagai orang yang mendalami masalah obat-obatan,  telah meyakinkan bahwa makanan ini bersih dari racun maupun obat bius dan malahan aku pun telah mencicipinya.”

Mendengar keterangan itu Mahesa Jenar menjadi tak ragu-ragu lagi. Cepat tangannya menyambar mangkuk minuman dan segera minum beberapa teguk teh hangat, disusul beberapa potong makanan. Segera setelah itu, tenaganya terasa telah pulih kembali, setelah semalam tidak tidur dan berkuda sekian jauhnya.

Berita akan adanya pertarungan di halaman rumah Samparan itu segera meluas. Beberapa orang yang pergi ke pasar bergegas untuk segera pulang, supaya dapat menyaksikan pertandingan itu. Sedang beberapa orang yang merasa mempunyai sedikit kekuatan, mencibirkan bibir, bahwa orang yang berani mencoba melawan rombongan Samparan adalah orang yang telah jemu hidup. Padahal orang-orang itu sendiri pun tidak mampu melawannya.

Sedang orang yang diributkan, pada saat itu sama sekali tak menghiraukan kesibukan orang-orang di halaman. Pada saat-saat semacam itu, ia merasa perlu menenangkan pikiran dan memusatkan tenaga. Seperti biasa, Mahesa Jenar sama sekali tak pernah meremehkan lawannya. Sebab sikap yang demikian akan menghilangkan kehati-hatiannya.

Ketika matahari sudah agak tinggi, selesailah segala persiapan. Para penonton telah banyak, mengelilingi arena. Sebentar kemudian terdengar kentongan dipukul orang lima kali – lima kali berturut-turut. Suaranya memencar menghantam dinding-dinding jurang dan tebing pegunungan, yang kemudian dilemparkan kembali. Menggema seperti aum harimau kelaparan mencari makan.
Demikianlah suara kentongan itu lima kali-lima kali berutrrut-turut bagi orang-orang Pucangan, seolah seperti suara malaikat pencabut nyawa yang memanggil-manggil korbannya.

Kemudian keluarlah dari pendapa rumah itu, Samparan beserta empat orang kawannya. Masing-masing dengan pakaian yang hampir sama. Celana hitam sampai lutut, kain lurik merah soga, sabuk kulit ular bertimang emas, dan berikat kepala merah soga pula, tanpa baju.
Kelima orang itu langsung menuju ke arena. Orang-orang yang berkerumun bersibak memberi jalan.

Sementara itu Mahesa Jenar juga sudah dipanggil. Seperti orang yang segan-segan, ia berjalan bersama Ki Asem Gede menuju ke arena. Pakaiannya adalah pakaian kusut, dan habis dipakai tidur tadi. Meskipun ia bernama Mahesa Jenar, anehnya ia suka warna-warna hijau. Kainnya lurik berwarna hijau gadung. Ikat kepala dan bajunya juga.
Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab, “Selamat pagi Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi, sebab aku takut kalau airmu memperlemah semangatku, sehingga aku tak dapat melayani permainanmu dengan baik.”

Melihat Mahesa Jenar, beberapa orang mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka. Begitu tenang dan sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya, ternyata Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta otot-ototnya tampak lebih kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak. Tetapi, orang-orang yang sedang sibuk menilai itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tak menemukan satu hal pun dari Mahesa Jenar yang dapat melebihi lawannya. Tingginya, besarnya, otot-ototnya dan segalanya. Tetapi ketika mereka memandang matanya seakan-akan mereka menjadi yakin kalau Mahesa Jenar akan memenangkan pertarungan ini. Mereka sama sekali tak sampai pada pikiran bahwa mata yang terang-cemerlang itu memancarkan suatu kebesaran pribadi yang tak ada bandingnya. Hal ini rupanya dirasakan juga oleh Samparan dan kawan-kawannya, sehingga ketika Watu Gunung bertemu pandang dengan Mahesa Jenar, hatinya berdegup keras dan cepat-cepat ia melemparkan pandangannya. Dengan gugup untuk  menutupi kerisauan hatinya, Watu Gunung berteriak, “Kakang Samparan, senjata apa yang pantas aku pakai?”
Samparan yang tak mengira akan mendapat pertanyaan itu dengan sekenanya saja menjawab, “Apa yang kau pilih!”

Kembali Watu Gunung jadi kebingungan, dan untuk mengatasinya, ia ingin mencari jawab pada lawannya dan sekaligus untuk lebih merapati kegelisahannya, katanya, “Mahesa Jenar, senjata apakah yang kau ingin pakai?”
Mahesa Jenar merenung sebentar, kemudian jawabannya makin menjadikan Watu Gunung kebingungan. “Watu Gunung… senjata adalah barang yang berbahaya. Sedang permainan ini hanya sekadar untuk menentukan pihak manakah yang dibenarkan Tuhan. Karena itu aku menganggap bahwa aku tak ingin mempergunakan senjata.” Watu Gunung menjadi semakin keripuhan, apalagi ketika Mahesa Jenar menyambung, “Tetapi meskipun demikian, kalau kau ingin mempergunakan senjata, kalau itu sudah menjadi kebiasaanmu, aku sama sekali tak keberatan, sedangkan bagiku sendiri senjata itu hanya akan merepotkan saja.”

Muka Watu Gunung menjadi merah seperti darah. Malu dan marah bercampur aduk. Belum pernah ia direndahkan sedemikian. Dan sekarang orang yang tak bernama itu berani berbuat demikian. Maka dengan suara lantang penuh kesombongan dan kemarahan, ia menjawab, “Aku bukanlah bangsa pengecut yang hanya berani bermain dengan senjata. Kalau aku bertanya tentang senjata itu maksudku sudah tegas, berkelahi sampai salah satu diantara kita mati. Tetapi kalau kau takut melihat tajamnya senjata, baiklah aku juga tidak akan bersenjata, sebab dengan tanganku ini aku akan dapat mematahkan lehermu.”

Orang yang mendengar ucapan ini bulunya berdiri. Watu Gunung sudah terkenal kehebatannya dan kekejamannya. Apalagi ia sekarang dikendalikan oleh kemarahan yang besar. Tetapi hal itu bagi Mahesa Jenar adalah suatu keuntungan. Sebab dengan kemarahan itu Watu Gunung akan kehilangan sebagian dari pengamatan dirinya.
Sementara itu Watu Gunung sudah berteriak, “Mahesa Jenar marilah kita mulai.” Mahesa Jenar segera mempersiapkan diri. Ia tidak mau dikenai oleh serangan yang pertama kali dan digerakkan oleh hawa kemarahan, yang tentu akan menambah kekuatan lawannya.
Dan apa yang diduga oleh Mahesa Jenar adalah benar. Belum lagi mulutnya terkatub rapat, Watu Gunung sudah meloncat maju dan langsung menyerang ulu hati Mahesa Jenar. Serangan itu begitu garang nampaknya seperti harimau menerkam mangsanya. Orang-Orang yang menyaksikan pertarungan itu, darahnya sudah tersirat sampai ke kepala. Tetapi Mahesa Jenar yang sudah bersiaga, cepat menarik kaki kirinya ke belakang dan memutar sedikit tubuhnya, sehingga pukulan itu tak mengenai sasarannya. Gagal dari serangan pertama ini Watu Gunung menyerang pula dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar, tetapi juga seperti serangannya yang pertama. Serangan ini pun dengan mudahnya dapat dihindarkan. Melihat kedua serangannya itu menyentuh pakaian lawan pun tidak, Watu Gunung menjadi semakin marah. Kembali ia membuka serangan dengan tangannya ke arah dada, dan sekaligus mempersiapkan tangan yang lain untuk menutup jalan menghindar. Rupa-rupanya serangan ini hampir berhasil mengenai lawannya. Tetapi pada saat terakhir ketika tangannya sudah berjarak setebal jari dari dada, Mahesa Jenar segera menarik tubuhnya ke belakang dengan satu loncatan yang cepat, ia menghindar ke arah sebelah dari tangan yang lain. Watu Gunung menjadi semakin uring-uringan. Dan meluncurlah kemudian serangan-serangan yang cukup dahsyat. Tetapi beberapa orang telah menjadi cemas. Sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar selalu terdesak. Pada saat terakhir, Mahesa Jenar merasa betul-betul terdesak. Memang lawannya pada saat itu tidaklah dapat dianggap ringan, meskipun belum sekuat Mantingan, tetapi Watu Gunung mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya kepada kekuatan jarinya, sehingga berkali-kali ia menyerang dengan menyodok perut, kening dan mata.

Di tulis ulang oleh ~ Alyrayaramburabbani Wadjahpriboemi PutraBungsu Kumbangkelana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar