Kamis, 04 Juli 2019

NOGOSOSRO SABUK INTEN 11




Mendengar jawaban itu,mendadak tangis Nyi Wirasaba terputus karena terkejut. Ia tidak begitu mengerti maksud jawaban suaminya, dan karena itu ia bertanya kepada Ki Wirasaba, “Apakah maksudmu, Kakang?”
“Nyai,” Ki Wirasaba menjelaskan, “kalau kau dibebaskan oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau menyerahkan dirimu, maka kau tidak berhak lagi kembali kepadaku. Tetapi kalau ada orang lain yang membebaskan engkau, Nyai, maka akulah yang tidak berhak lagi menerima aku.”
Mendengar penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan kepalang, maka kembali meledaklah tangisnya. “Kakang,” katanya di antara sedu-sedannya, “aku masih bersih seperti kemarin, Kakang. Bukankah dengan demikian aku masih berhak kembali kepadamu? Kalau aku tidak lagi merasa berhak kembali kepadamu, kau hanya akan tinggal dapat mengenang namaku, sebab aku telah bertekad untuk bunuh diri. Tetapi kalau orang lain yang membebaskan aku, kenapa kau merasa tidak berhak lagi menerima aku?” kata Nyi Wirasaba diantara sedu-sedannya.
“Nyai,” jawab Ki Wirasaba, “laki-laki yang tahu diri, hanya dapat memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri,”.
Mendengar jawaban itu, Ki Asem Gede tidak kalah terkejutnya. Maka segera ia melompati pintu dan cepat-cepat menemui menantunya. Mahesa Jenar dan Mantingan yang merasa berkepentingan pula, segera mengikuti Ki Asem Gede. Barangkali mereka dapat menolong memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.

Mendengar kata-kata Wirasaba,Mahesa Jenar dan Mantingan dapat menduga, kalau orang itu mempunyai harga diri yang cukup tinggi. Tetapi yang masih merupakan pertanyaan, mengapa Wirasaba sendiri tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya?
Melihat kedatangan Ki Asem Gede dan dua orang yang tak dikenalnya, Wirasaba menjadi agak terkejut. Tetapi segera ia membungkuk hormat dengan tetap masih duduk bersila di atas pembaringannya.
“Selamat datang Bapak Asem Gede.”
Ki Asem Gede membalas hormat, jawabnya, “Selamat Wirasaba, aku datang mengantarkan istrimu. Mudah-mudahan kau mau menerimanya dengan baik. Kau tidak usah mempersoalkan siapakah yang membebaskannya. Yang penting, ia pulang dengan selamat, dan masih tetap seperti saat ia diambil darimu.”
Wirasaba diam sejenak. Ia tundukkan kepalanya sambil berpikir. Sebenarnya ia adalah seorang jantan yang memang agak tinggi hati. Ia tidak mau menerima pertolongan orang lain berdasarkan belas kasihan. Apalagi dalam persoalan ini, persoalan seorang istri.
“Siapakah yang telah membebaskan istriku?” tanya Wirasaba.
Ki Asem Gede tertegun sejenak. Ingin ia mengaku telah membebaskan anaknya untuk menjaga perasaan menantunya, tetapi ia takut kalau dengan demikian ia dikira orang yang tak mengenal budi. Sebaliknya Mahesa Jenar pun sebenarnya ingin mengatakan bahwa Ki Asem Gede telah membebaskan anaknya, tetapi ia pun takut kalau-kalau hal ini dianggap merendahkan orang tua itu.

 Melihat gelagat yang demikian, Ki Wirasaba dapat menebak bahwa seseorang telah membebaskan istrinya. Bahkan tidak mustahil kalau orang itu adalah salah seorang yang sekarang berada di hadapannya, atau kedua-duanya. Maka segera muncullah sifat tinggi hatinya, katanya, “Bapak Asem Gede, aku mempunyai dugaan bahwa orang itu telah membebaskan istriku. Aku juga mempunyai dugaan bahwa orang itu telah berhasil membebaskan istriku dengan kekerasan. Sebab mustahil Samparan dan Watu Gunung akan melepaskan korbannya begitu saja sebelum nyawanya dapat dicabut. Adakah orang yang menyabung nyawa tanpa pamrih?”
Mendengar sindiran itu, hati Mahesa Jenar tergoncang hebat. Tidak kalah pula terperanjatnya Mantingan dan Ki Asem Gede, sehingga wajah mereka menjadi semburat merah. Nyi Wirasaba melihat gelagat yang kurang baik itu. Dan kembali sebuah goresan tajam melukai hatinya yang sudah hampir sembuh. Cepat ia menjatuhkan diri di samping pembaringan suaminya, berlutut sambil menangis, katanya, “Kakang, aku telah kembali kepadamu. Jangan lepaskan aku lagi.”
Mendengar ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun sebenarnya sangat mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi perasaan harga diri yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga sedikit pun ia tidak menunjukkan getaran perasaannya.
Mata Wirasaba yang sayu memandang keluar lewat jendela di samping pembaringannya. Memandang daun-daun yang bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan matahari yang jatuh bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan.

Suasana kemudian dikuasai oleh kesepian yang tegang. Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Kutuk apakah yang ditimpakan Tuhan atas dirinya, sehingga ia mengalami suatu kejadian yang demikian rumitnya? Haruskah pada suatu saat ia berhadapan dengan Wirasaba sebagai lawan? Kalau demikian, maka menang atau kalah ia akan tetap sama saja. Sama-sama mengalami penderitaan batin. Kalau Mahesa Jenar kalah, maka kekalahan itu tak akan dapat dilupakannya seumur hidupnya. Sebaliknya kalau ia menang, bagaimanakah nasib Nyai Wirasaba? Sebab dengan demikian Ki Wirasaba pasti tidak akan mau menerimanya kembali. Bahkan mungkin ia akan membunuh dirinya.
Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jalan keluar, tiba-tiba didengarnya Wirasaba berkata,  “Nyai, aku akan menerima kau kembali sebagaimana kau terlepas dari tangan Samparan.”
Suara Wirasaba itu terdengar sebagai gemuruhnya seribu guntur yang menggelegar bersama-sama.
Suasana menjadi bertambah tegang. Peluh dingin telah mengalir di seluruh tubuh Mahesa Jenar. Apa yang diduganya ternyata benar-benar terjadi.

Sampai saat itu pun ia masih belum dapat menemukan suatu pilihan. Bagaimanapun, sebagai seorang laki-laki ia tidak bisa menelan tantangan itu begitu saja. Sehingga dengan demikian tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya yang melonjak lonjak. Hampir saja ia melangkah maju dan menerima tantangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Nyai Wirasaba masih menangis, bahkan makin menjadi-jadi, ia kembali ragu-ragu.
Akhirnya setelah perasaannya berjuang beberapa lama, Mahesa Jenar mengambil suatu keputusan yang sangat berat. Sebagai seorang laki-laki, apalagi sebagai seorang yang berjiwa prajurit, ia belum pernah menghindari suatu tantangan. Tetapi kali ini bertekad, berkorban buat kedua kalinya, untuk ketentraman hidup putri Ki Asem Gede. Karena itu ia berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ki Asem Gede menjadi kebingungan, dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ia pun mempunyai pikiran yang sama dengan Mahesa Jenar. Kalau saja Mahesa Jenar menerima tantangan itu, Mahesa Jenar bukanlah tandingan Wirasaba. Bagaimanapun hebatnya menantunya, tetapi setinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah tingkat Dalang Mantingan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini.

Belum lagi suasana yang tegang itu terpecahkan, mendadak mereka dikejutkan oleh suatu bayangan yang melayang, meloncat masuk lewat jendela yang terbuka di samping pembaringan Wirasaba. Geraknya cepat dan lincah sekali. Mereka menjadi semakin terperanjat ketika mereka melihat siapakah orang itu. Ternyata orang yang telah berdiri tegak diantara mereka adalah Samparan.
“Pengecut tua,” teriaknya sambil menuding wajah Ki Asem Gede,  ”kau curi anakmu dengan laku seorang perempuan. Aku telah merampasnya dengan kejantanan. Aku telah melukai dua orang murid Wirasaba yang menghalangi maksudku. Seharusnya kau ambil perempuan itu dengan laku seorang jantan pula. Nah, sekarang aku datang untuk mengambilnya kembali”
Melihat tingkah laku, sikap dan kata-kata Samparan, Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Apalagi yang mau diperbuat oleh setan kecil ini?
Sedangkan Mantingan mempunyai tanggapan lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk menuntut balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai umpan.
Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan Samparan dan mendengar kata-katanya, matanya menjadi berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar di dalam jiwanya.
“Samparan,” sahut Wirasaba, ”kau pun tidak berlaku jantan. Kau tidak mengambil istriku dari tanganku. Kau hanya berani melayani anak-anak yang baru dapat meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar katamu, Bapak Ki Asem Gede mengambil istriku, Bapak Asem Gede ingin mengembalikan keadaan seperti semula. Nah, sekarang, kalau kau inginkan istriku, ambillah ia dari tanganku dengan laku seorang jantan”.
Samparan tertawa dingin, jawabnya, “Kau bermaksud demikian?”
Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini menjadi cerah seperti cerahnya matahari.
Mahesa Jenar yang berotak cerdas segera menangkap arah persoalannya. Diam-diam ia memuji kelincahan otak Samparan. Tetapi lebih dari itu, ia kagum maksud baik Samparan, meskipun dengan tindakannya itu ia menghadapi kemungkinan yang berat sekali.
“Kau telah mengundang orang-orang ini untuk melindungi istrimu?” tanya Samparan dengan nada menghina.

Wirasaba yang tinggi hati,segera merasa tersinggung. Dengan marahnya ia menjawab, “Samparan, mulutmu terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka datang bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah urusanku dengan kau. Jadi kau dan akulah yang harus menyelesaikan.”
Kembali Samparan tertawa dingin.”Wirasaba, jangan kau mimpi akan masa lampau. Memang beberapa tahun yang lalu kau merupakan seorang tokoh yang mempunyai nama cemerlang. Sebutanmu cukup menggetarkan. Tetapi dengan kakimu yang lumpuh sekarang ini, kau menjadi sebatang seruling gading yang telah retak”.

Mahesa Jenar dan Mantingan terperanjat dua kali lipat. Ternyata Wirasaba adalah orang yang terkenal dengan sebutan Seruling Gading. Seorang tokoh penggembala yang tak ada tandingannya diantara mereka. Kekuatan tubuhnya dan kepandaiannya meniup seruling merupakan suatu paduan yang sudah ditemukan. Tetapi Seruling Gading itu kini sudah lumpuh. Dan kata-kata Samparan itu juga merupakan jawaban atas teka-teki yang selama ini selalu membelit pikiran Mahesa Jenar dan Mantingan. Karena kelumpuhannya itu pulalah agaknya, maka Wirasaba tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya.

Di tulis ulang oleh ~ Alyrayaramburabbani Wadjahpriboemi PutraBungsu Kumbangkelana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar