Jumat, 05 Juli 2019

NOGOSOSRO SABUK INTEN 15


Tetapi ternyata,Wirasaba yang telah sekian kali merantau,menjelajahi beberapa daerah, memiliki pengalaman yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa hanyalah seorang tokoh lokal yang telah mencapai puncak kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan. Memang Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.
Maka ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa picik pengetahuan Pradangsa. Ia hanya memusatkan tenaga serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan sepenuh tenaga yang ada padanya menghantam tangan Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu terjadi, Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik tangan kirinya. Ketika tangan kanannya membentur tangan Pradangsa, ibu jari tangan kirinya sempat mengetuk leher Pradangsa itu.

Akibat benturan itu pun sangat hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar surut. Demikian juga Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari pada lehernya, Pradangsa merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan Pradangsa. Sebab dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu diganggu oleh peredaran nafasnya yang semakin lama terasa semakin sesak dan sakit. Meskipun demikian, pertempuran itu masih juga berlangsung lama. Mereka tampaknya seperti dua ekor ular yang saling berlilitan dan timbul-tenggelam diantara lawannya.

Tetapi sampai sekian, kepastian dari akhir pertempuran itu sudah jelas. Sebab Wirasaba jauh berpengalaman. Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi juga dengan otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip seekor babi yang terlalu percaya pada kekuatannya. Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam beberapa saat kemudian ia sudah benar-benar dikuasai oleh serangan-serangan Wirasaba yang menjadi semakin keras. Akhirnya Pradangsa menjadi semakin terdesak. Dan tampaklah bahwa pertempuran itu sudah hampir selesai.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa bahwa ia tidak mampu mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu kelicikan. Tangannya tiba-tiba menggenggam potongan-potongan besi lembut dari kantongnya, yang kemudian dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa terkejutnya Wirasaba. Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap bagian tubuhnya.
Untunglah bahwa Wirasaba berpikir cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat tinggi-tinggi. Namun tindakannya itu tidak dapat menyelamatkan seluruh tubuhnya. Beberapa potong besi itu masih juga mengenai kakinya. Akibatnya hebat sekali. Waktu ia terjun kembali, ternyata ia sudah tidak dapat tegak lagi di atas kedua kakinya yang luka-luka. Mengalami peristiwa itu, Wirasaba menjadi marah sekali. Ia menjerit nyaring. Tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam sebuah kapak kecil, suatu jenis senjata yang digemari. Dengan penuh kemarahan kapak kecil itu dilemparkannya ke arah lawannya. Demikian kerasnya lemparan itu, sehingga yang tampak hanyalah seleretan sinar yang menyambar dada Pradangsa, yang kemudian disusul sebuah jerit ngeri dan suara tubuh Pradangsa yang terbanting jatuh, untuk tidak bangun kembali.

Ki Asem Gede berhenti. Beberapa kali ia menelan ludah. Agaknya ia menjadi haus setelah berceritera demikian panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan pula, “Pada saat itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang masih terduduk di tanah. Wirasaba terkejut melihat kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun sambil menyeringai kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya. Perhatianku hanya terpusat pada kakinya. Aku mempunyai dugaan bahwa potongan-potongan besi itu berbisa. Sebab seorang seperti Pradangsa itu tidak mustahil berbuat demikian. Dan dugaanku itu benar. Ketika luka-luka itu aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes pun. Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba menelan ramuan-ramuan obat pelawan bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan.”
“Biasanya, setiap luka yang mengandung bisa, setelah menelan ramuan obatku itu segera mengeluarkan darah yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu juga menghanyutkan segala racun yang telah menyusup ke dalam darah daging. Tetapi tidak demikianlah kaki Wirasaba itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak mengalirkan darah. Bahkan di sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak. Maka dapatlah aku mengambil kesimpulan bahwa bisa yang dipergunakan oleh Pradangsa adalah bisa yang keras sekali. Karena itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku berikan hanya sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya hampir tak dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya.
Baru ketika sampai di rumah, di bawah cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan pasti bahwa potongan-potongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat sekali. Aku mempunyai dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis laba-laba hijau yang terdapat di hutan Tambak Baya.
Meskipun aku sudah berusaha keras sebagai seorang tabib, tetapi sama sekali tak berhasil melawan bisa itu. Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi menjalarnya racun itu ke bagian tubuh yang lain.
“Itulah Anakmas Mahesa Jenar dan Adi Mantingan, sebab-sebab yang menimbulkan cacat pada Wirasaba. Tetapi hal yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku tetap setia pada janjinya, meskipun laki-laki yang dikaguminya itu telah cacat. Sehingga perkawinan mereka pun dapat dilangsungkan”.

Ki Asem Gede mengakhiri ceriteranya dengan suatu tarikan nafas yang dalam. Seolah-olah sesuatu yang menyumbat hatinya kini telah terlontar keluar. Meskipun demikian nampak juga suatu perasaan kecewa yang tersirat di wajahnya. Sebagai seorang tabib kenamaan, Ki Asem Gede merasa mendapat suatu peringatan langsung dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa bagaimanapun usaha anak manusia, namun keputusan terakhir berada di tangan-Nya. Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang ditolongnya, diobati dan disembuhkan. Namun terhadap sakit menantunya sendiri, yang bergaul hampir setiap hari, ia tak mampu berbuat apa-apa.
“Tak adakah obat yang dapat menyembuhkannya?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidak ada,” jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah. “Bahkan obat yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin bisa itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada bagian yang terluka bisa itu seperti api yang tersimpan di dalam sekam. Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian tubuh di sekitar luka itu,” lanjutnya. Ki Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia berkata, “Ada Anakmas …, ada.”
“Ada?” ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.

Namun kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali, katanya, “Ada Anakmas, tetapi aku kira obat itu tidak dapat diketemukan.”
“Sudahkah Bapak berusaha?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
Ki Asem Gede menggelengkan kepalanya. “Mustahil …, mustahil,” desisnya.
“Katakanlah Ki Asem Gede,“ desak Mahesa Jenar, „mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau melihatnya,”.
Ki Asem Gede tampak ragu-ragu sebentar, tetapi akhirnya ia berkata, “Anakmas, memang ada obat untuk melawan bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi obat itu hampir hanyalah merupakan dongeng belaka.”

Mahesa Jenar dan Mantingan mengerutkan keningnya bersama-sama seperti berjanji. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar bertanya, “Kenapa Ki Asem Gede? Apakah obat itu terlalu sulit untuk didapatkan?”
“Anakmas benar,“  sahut Ki Asem Gede sambil mengangguk, „Sebab obat yang dapat melawan segala bisa itu, sepengetahuanku adalah bisa Ular Gundala,”
“Ular Gundala?” ulang Mahesa Jenar, sedang Mantingan menyela, “Aku pernah mendengar nama ular itu”.
“Ya, ular Gundala,” Ki Asem Gede menegaskan. “Ada dua macam ular Gundala. Yaitu ular Gundala Seta dan Ular Gundala Wereng. Kedua-duanya mempunyai jenis bisa yang tak terlawan. Tetapi kedua-duanya mempunyai sifat yang berlawanan. Bisa ular Gundala Wereng, bekerja seperti pada umumnya bisa, meskipun ketajamannya berlipat-lipat. Tetapi bisa ular Gundala Putih bekerja sebaliknya. Kalau kedua jenis ular bisa itu berbenturan maka akhirnya akan menjadi tawar. Karena itulah maka bisa ular Gundala Putih-lah yang dapat menjadi obat yang sangat mujarab untuk menawarkan segala macam bisa, meskipun kalau bisa itu berdiri sendiri akan mempunyai akibat yang berbeda.
Ini adalah pengertian secara umum saja. Sebab disamping itu masih ada sebab-sebab lain, kenapa bisa ular Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut ceritera, ular Gundala adalah semacam senjata dari para Dewa. Ular Gundala Wereng adalah senjata dari Sang Batara Kala, sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata Batara Wisnu. Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka memancarlah bunga-bunga api di udara. Kalau sinarnya putih kebiru-biruan, itulah pancaran dari ular Gundala Seta, senjata Wisnu. Sedangkan ular Gundala Wereng memancarkan cahaya merah membara agak kehitam-hitaman”.

Di tulis ulang oleh ~ Alyrayaramburabbani Wadjahpriboemi PutraBungsu Kumbangkelana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar