Jumat, 05 Juli 2019

NOGOSOSRO SABUK INTEN 14




Pada malam setelah semua peristiwa itu terjadi, Mantingan dan Mahesa Jenar diminta untuk tinggal di rumah Ki Wirasaba bersama-sama Ki Asem Gede. Tetapi untuk menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan salah faham, maka sengaja Mantingan dan Mahesa Jenar tidak banyak bercakap-cakap dengan Ki Wirasaba. Hanya dalam kesempatan itu, ketika mereka duduk-duduk bertiga, Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan dan Ki Asem Gede, berceriteralah orang itu, tentang sebab-sebabnya Ki Wirasaba menjadi lumpuh.
“Wirasaba adalah seorang pilihan dalam kalangannya,” ceritera ki Asem Gede,.” Yaitu para penggembala. Ia mendapat gelar Seruling Gading karena kepandaiannya meniup seruling. Pada usia yang masih sangat muda, ia mulai dengan perantauannya dari satu daerah ke daerah yang lain untuk menuruti keinginannya yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Ia sebenarnya berasal dari Karang Pandan, di kaki Gunung Lawu.

Sehingga pada suatu saat sampailah ia ke Prambanan. Kedatangannya bagiku sangat menguntungkan. Sebab pada saat itu aku sedang dibingungkan oleh sebuah lamaran yang mengerikan. Anakku, istri Wirasaba itu, pada saat itu sedang menerima lamaran dari seorang yang sangat ditakuti di daerah kami. Tetapi orang itu bukanlah orang baik-baik. Adatnya sangat kasar dan angkuh. Sehingga anakku bersumpah di hadapanku, kalau terpaksa ia harus menjalani perkawinan itu, berarti bahwa hidupnya harus diakhiri.

Kehadiran Wirasaba merupakan angin baru bagi anakku. Perkenalan mereka semakin lama menjadi semakin erat. Sebagai orang tua aku segera mengetahui bahwa hati mereka terjalin.
Pradangsa, orang yang ingin mengawini anakku itu, melihat hubungan yang semakin erat itu. Ia menjadi marah bukan kepalang. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terkalahkan, ia berusaha menyelesaikan persoalan itu dengan caranya. Ditantangnya Wirasaba untuk berkelahi. Aku yang belum mengetahui tingkat ilmu yang dimiliki oleh Wirasaba, menjadi cemas. Tetapi Wirasaba sendiri menerima tantangan itu dengan senang hati,” lanjut Ki Asem Gede.

Maka,pada suatu hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah pertemuan itu di atas sebuah gundukan pasir di pinggir sungai Opak. Aku yang selalu kecemasan, memerlukan dengan diam-diam berusaha untuk dapat mengikuti pertemuan yang tidak menyenangkan itu.
Yang mula-mula datang ke tempat itu adalah Wirasaba, tepat pada saat warna merah di langit yang terakhir terbenam ke dalam warna kelam. Rupanya sengaja ia datang lebih awal untuk mengetahui keadaan tempat itu.
Setelah beberapa saat ia mengamati tempat itu sejengkal demi sejengkal, maka duduklah Wirasaba di atas sebuah batu di tepi sungai yang mengalirkan airnya yang jernih. Dari dalam bajunya dikeluarkannya sebuah seruling yang terbuat dari pring gadhing. Sambil menunggu kedatangan lawannya, ia mulai berlagu dengan serulingnya itu. “Baru sekali itu aku mendengar Wirasaba meniup serulingnya. Dan memang sudah sewajarnyalah kalau ia mendapat sebutan Seruling Gading.

Mula-mula serulingnya itu membawakan lagu yang sejuk menyongsong datangnya bulan. Nadanya seperti silirnya angin senja. Kemudian lagu itu menurun makin dalam, tetapi sesaat kemudian melonjak riang, seriang wajah gadis yang menyongsong datangnya kekasih. Sesaat kemudian berubahlah lagu Wirasaba mendendangkan kisah cinta. Sambil menatap wajah bulan, ia berlagu dengan lembutnya. Tetapi sebentar kemudian ia meloncat berdiri. Sedang serulingnya masih saja berlagu. Dipandangnya tenang-tenang Candi Jonggrang sebagai lambang keagungan cinta yang tiada taranya. Kesanggupan Yang Maha Besar, yang dilahirkan karena cinta. Candi Jonggrang yang mengagumkan itu dapat diciptakan hanya dalam waktu satu malam, sebagai suatu usaha raksasa untuk memenuhi tuntutan cinta.

Maka beralunlah seruling Wirasaba dengan lembut dan mesra. Seakan-akan ia mengungkapkan suatu ceritera rakyat tentang cinta abadi antara Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi. Dan karena itulah maka lahir segala isi bumi ini.
Wirasaba sebagai lazimnya penggembala, tiada dapat terpisah dari serulingnya. Sahabat pada saat-saat sepi, pada saat-saat binatang gembalanya asyik bermain di padang rumput. Karena itulah maka setiap lagu yang dipancarkan dari serulingnya, selalu melukiskan kisah yang terjalin di hatinya.

Sebagai seorang yang hidup bebas di padang-padang terbuka, dalam berlagu pun Wirasaba ternyata tidak mau terikat pada gending-gending yang sudah ada. Lagunya menjangkau jauh melampaui batas gending-gending yang dirasanya terlalu miskin untuk mengungkapkan seluruh perasaannya. Karena itu lagunya bebas terlontar tanpa ikatan. Namun demikian dapat melukiskan segenap warna dalam jiwanya.

Tetapi,ketika ia sedang asyik tenggelam dalam lagunya, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang merobek-robek kekhusukan lagu yang hampir sampai ke puncak keindahannya.
Aku segera mengenal suara itu. Suara Pradangsa. Kali ini rupanya ia ingin memperlihatkan kesaktiannya dengan menyalurkannya lewat suara tertawanya yang mengerikan. Cepat-cepat aku berusaha untuk tidak hanyut ke dalam pengaruhnya. Tetapi disamping itu aku pun menjadi cemas kembali. Wirasaba memang seorang ahli meniup seruling. Tetapi Pradangsa bukanlah seorang penggemar lagu. Ia adalah seorang yang kasar dan hanya dapat menghargai kekuatan tenaga. Bukan kemesraan dan kelembutan.”
“Apalagi ternyata suara tertawa itu tidak segera berhenti. Tetapi gelombang demi gelombang terdengar seperti susul-menyusul. Seperti datangnya ombak lautan segulung demi segulung menghantam tebing.”
“Dalam kecemasanku itu, tiba-tiba aku dikejutkan lagi oleh suara seruling Wirasaba. Tetapi setelah itu aku menjadi bersyukur. Bahkan aku menjadi berbangga hati. Suara seruling yang mesra lembut itu segera berubah melengking tajam. Kemudian Wirasaba berteriak penuh kemarahan karena cintanya terganggu. Yang sama sekali tak aku duga, adalah bahwa kemarahan Wirasaba yang dilontarkan lewat nada-nada serulingnya itu pun ternyata mengandung pengaruh yang luar biasa pula. Maka kemudian seakan-akan terjadilah benturan dahsyat antara suara tertawa Pradangsa dengan nada-nada seruling. Wirasaba yang sebentar melonjak, naik tajam, dan kemudian turun menukik kembali,lalu menggelegar seperti guruh yang dengan penuh kemarahan menghantam gunung. Karena benturan itulah maka seolah-olah tercapailah suatu keseimbangan, sehingga kedua suara itu semakin lama semakin lirih...semakin lirih.
Bahkan akhirnya keduanya berhenti dengan sendirinya.
Tepat pada saat suara itu berhenti, meloncatlah sebuah bayangan dari seberang, dengan tangkasnya dari batu ke batu menyeberangi sungai Opak. Dari geraknya yang cepat dan tangkas, sudah dapat dikira sampai dimana kekuatan tenaganya.
Belum lagi Pradangsa menjejakkan kakinya di tepian, mulutnya sudah mendahului berteriak dengan suara gunturnya. “Hai anak cengeng. Rupanya kau hanya mampu menjadi seorang penipu seruling. Itu saja kau hanya bisa membawakan lagu-lagu cengeng seperti apa yang baru saja kau lagukan.”

Wirasaba adalah seorang yang tinggi hati. Mendengar dirinya disebut anak cengeng, segera bangkitlah kesombongannya. “Memang, aku hanya mampu melagukan lagu-lagu cengeng. Lagu-lagu cinta dan kasih. Tetapi aku adalah orang yang tahu diri. Sekali dua kali aku pernah bercermin, meskipun hanya di permukaan air. Maka sadarlah aku bahwa wajahku jauh lebih tampan daripada wajahmu yang kasar itu. Karena itulah aku berhak melagukan lagu cinta dan kasih. Tidak saja lagu maut seperti yang kau miliki satu-satunya.”

Pradangsa adalah seorang yang kasar dan sombong. Ia tidak pernah menerima hinaan yang sampai sedemikian. Karena itu segera darahnya naik ke kepala.
“Setan!” makinya semakin kasar, ”Aku tidak pernah menyesal bahwa wajahku kasar dan jelek. Tetapi dengan tenaga yang aku miliki, aku mampu berbuat apapun. Aku mampu memperistri setiap perempuan yang aku kehendaki. Nah, kau sekarang mencoba mengganggu kebiasaanku itu. Karena itu bersediakah untuk mati?”
Wirasaba tidak mau banyak bicara lagi. Diselipkannya seruling pring gadingnya ke dalam bajunya.
“Kau hanya mau berbicara saja?” potongnya.
Pradangsa bergumam di dalam mulutnya, dan kemudian kembali ia tertawa nyaring. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Wirasaba membentak. “Aku tidak banyak waktu, bersiaplah.”
Pradangsa pun rupanya juga menganggap bahwa waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera bersiap. Dengan tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat dalam sebuah perkelahian. Dalam bagian permulaan nampak bahwa Wirasaba dapat melayani Pradangsa dengan baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara tertawa lawannya. Geraknya cukup cekatan. Tetapi yang masih meragukan, apakah ia dapat mengimbangi tenaga raksasa yang dimiliki oleh Pradangsa. Dalam setiap perkelahian, Pradangsa hampir tidak pernah menghindarkan diri dari setiap serangan. Tetapi, setiap serangan itu selalu dibenturnya dengan serangan pula, sebab ia sangat percaya pada kekuatannya.

Demikian pula agaknya pada saat itu. Pradangsa sama sekali tidak menghindarkan diri ketika Wirasaba menyerangnya dengan dahsyat. Rupanya Pradangsa mengira bahwa Wirasaba hanya mampu meniup serulingnya saja. Memang bentuk tubuh Wirasaba tidaklah sebesar Pradangsa. Tetapi apa yang telah terjadi? Pada saat itu, ketika Pradangsa membalas serangan Wirasaba yang dahsyat, ternyata dalam tubuh Wirasaba yang tidak sebesar lawannya itu tersimpan suatu tenaga yang hebat sekali, yang sama sekali tak diduga oleh Pradangsa. Sedangkan Pradangsa sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa pula.







Di tulis ulang oleh ~ Alyrayaramburabbani Wadjahpriboemi PutraBungsu Kumbangkelana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar